Patitimes.com, Jakarta, 23 Juni 2025 — Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memanas. Amerika Serikat (AS) secara resmi terlibat dalam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, menyusul langkah militer Israel yang lebih dulu melancarkan serangan pada pertengahan Juni 2025. Eskalasi ini memicu kekhawatiran besar di pasar keuangan global, mulai dari lonjakan harga minyak mentah, pelemahan mata uang, hingga potensi tekanan besar pada bursa saham dunia, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Indonesia.
Serangan ini diumumkan langsung oleh Presiden AS Donald Trump melalui platform media sosialnya, Truth Social, dan langsung disambut reaksi negatif dari para investor global yang tengah mencermati dampaknya terhadap perdagangan internasional.
Harga Minyak Mentah Melonjak Akibat Konflik AS-Iran
Ketegangan di kawasan Timur Tengah biasanya langsung berdampak pada harga energi global. Harga minyak mentah Brent, yang menjadi acuan dunia, telah naik tajam sebanyak 18% sejak 10 Juni dan menembus level USD 79,04 per barel pada Kamis lalu—level tertinggi dalam hampir lima bulan terakhir.
Mark Spindel, Kepala Investasi Potomac River Capital, menilai pasar akan diliputi ketidakpastian akibat keterlibatan langsung AS dalam konflik. “Ketidakpastian ini akan mendorong harga minyak lebih tinggi, dan volatilitas akan meningkat drastis,” katanya.
Peningkatan harga minyak dapat mendorong tekanan inflasi global, terutama di negara-negara pengimpor energi. Jack Ablin, Kepala Investasi Cresset Capital, mengingatkan bahwa konflik ini menambah dimensi baru dalam risiko geopolitik yang bisa memperburuk inflasi dunia.
IHSG Berpotensi Melemah, Pasar Saham Global Ikut Terseret
Kondisi ini membuat pasar saham global menghadapi tekanan, tidak terkecuali pasar modal Indonesia. Analis Panin Sekuritas, Felix Darmawan, memperkirakan bahwa IHSG berpotensi dibuka melemah pada Senin (23/6/2025) akibat kekhawatiran investor terhadap konflik AS–Iran dan dampaknya terhadap kestabilan energi.
“IHSG kemungkinan akan bergerak negatif pada awal pekan ini, dengan support berada di level 7.150 dan 7.100, serta resistance di kisaran 7.250–7.300,” ujar Felix. Ia menambahkan bahwa jika konflik terus meluas dan memicu arus keluar dana asing, tekanan terhadap pasar bisa menjadi lebih besar.
Namun, ia juga membuka kemungkinan perbaikan jika pasar menilai konflik ini bersifat sementara dan tidak mengganggu pasokan energi secara luas.
Permintaan Dolar Naik, Rupiah Tertekan
Lonjakan permintaan terhadap dolar AS sebagai aset aman (safe haven) menjadi dampak langsung dari ketidakpastian geopolitik. Hal ini berimbas pada tekanan terhadap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menjelaskan bahwa ketika investor global menarik dana dari pasar negara berkembang seperti Indonesia, rupiah akan tertekan, dan pelemahan ini bisa memperparah tekanan inflasi dalam negeri.
“Pelemahan rupiah bisa meningkatkan biaya impor, terutama untuk komoditas strategis seperti energi dan pangan. Ini akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah dan Bank Indonesia,” ungkapnya.
Yusuf menilai bahwa Bank Indonesia kemungkinan akan merespons dengan kebijakan moneter ketat guna menjaga stabilitas nilai tukar dan mengendalikan laju inflasi, meski langkah tersebut dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Investor Beralih ke Emas dan Dolar sebagai Aset Aman
Dalam situasi geopolitik yang tidak stabil, investor cenderung menghindari aset berisiko dan beralih ke safe haven seperti emas dan dolar AS. Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, memperkirakan bahwa harga emas dunia akan melonjak tajam akibat eskalasi konflik ini.
“Harga emas bisa kembali menyentuh USD 3.450 per troy ounce, bahkan mendekati USD 3.500,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa meskipun kondisi belum separah pandemi, tekanan terhadap rupiah tetap signifikan jika konflik terus memburuk.
Dampak ke Asia dan Prospek Pertumbuhan Regional
Asia, sebagai kawasan pengimpor energi terbesar, sangat rentan terhadap gejolak harga minyak. Rong Ren Goh, Manajer Portofolio di Eastspring Investments Singapura, menyebut bahwa konflik berkepanjangan bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan.
“Serangan AS ke fasilitas nuklir Iran menandai eskalasi besar dalam konflik Timur Tengah. Jika berlarut-larut, gangguan pasokan energi bisa meningkatkan inflasi dan mengganggu prospek pertumbuhan ekonomi Asia,” jelasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa kondisi ini dapat mendorong arus modal keluar dari pasar negara berkembang Asia, termasuk Indonesia, serta meningkatkan ketergantungan pada dolar AS.
Pasar Global Masuki Fase Ketidakpastian Baru
Serangan militer Amerika Serikat terhadap fasilitas nuklir Iran telah membuka babak baru dalam ketegangan geopolitik global. Dampaknya bukan hanya terasa di kawasan Timur Tengah, tetapi telah menyebar luas ke pasar keuangan dunia. Lonjakan harga minyak, pelemahan nilai tukar, tekanan inflasi, serta kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi isu utama.
markom Patitimes.com