Banyuwangi, Patitimes.com — Namanya mungkin terdengar nyeleneh dan memancing senyum, Jangan Banci. Tapi jangan salah sangka, ini bukan sekadar plesetan atau gurauan, melainkan nama asli dari salah satu masakan tradisional khas Banyuwangi, tepatnya berasal dari Desa Kemiren, kampung adat masyarakat Suku Using (Osing). Di balik nama yang unik, tersembunyi kekayaan rasa dan sejarah panjang yang kini mulai dilirik kembali oleh generasi muda.
Jangan Banci bukan hanya soal cita rasa, tapi juga tentang identitas budaya dan kearifan lokal yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat Using. Sayangnya, kuliner ini mulai jarang ditemukan karena generasi muda lebih mengenal makanan instan dan cepat saji.
Apa Itu Jangan Banci?
Jangan Banci adalah sejenis masakan bersantan yang dibuat dari bahan dasar daun belimbing. Untuk menghilangkan rasa sepatnya, daun ini direbus terlebih dahulu, kemudian ditumbuk dan diperas. Proses ini memerlukan keahlian dan ketelatenan, sesuatu yang kini mulai langka di tengah gempuran makanan instan.
Setelah proses perebusan dan pemerasan, daun belimbing dimasak dengan bumbu rempah tradisional seperti kemiri, jinten, kayu manis, cengkeh, kapulaga, dan merica. Masakan ini kemudian diperkaya dengan santan, kelapa muda, daun jeruk, dan serai. Hasilnya adalah hidangan bersantan yang kaya rasa, harum, gurih, dan memberikan kehangatan saat disantap.
Biasanya, Jangan Banci disajikan bersama lauk pelengkap seperti telur asin, perkedel ubi, abon daging sapi suwir, dan kerap hadir dalam ritual sedekahan masyarakat Using. Tak heran jika masakan ini disebut sebagai sajian spiritual dan kultural, bukan sekadar kuliner biasa.
Penjaga Resep Leluhur dari Desa Kemiren
Di tengah modernisasi yang terus menggerus tradisi, masih ada sosok yang konsisten menjaga warisan ini. Salah satunya adalah Rohaniyah (57), warga asli Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Sejak muda, ia telah terbiasa mengolah masakan tradisional, termasuk Jangan Banci dan aneka jajanan pasar khas Using seperti jongkong, apem plecer, dan sumping.
Setiap Minggu pagi, Rohaniyah rutin berjualan di Pasar Kemiren, membawa hasil olahannya yang dibuat secara tradisional tanpa bahan pengawet.
“Sekarang jarang yang bisa bikin Jangan Banci, karena orang muda lebih kenal makanan cepat saji,” ujar Rohaniyah.
“Padahal ini makanan leluhur, dulu sering disajikan saat hajatan,” imbuhnya.
Lebih dari sekadar berjualan, Rohaniyah juga aktif membagikan pengetahuannya kepada anak-anak muda di desanya. Baginya, selama masih ada yang mau belajar dan memasak, kuliner tradisional seperti Jangan Banci masih punya harapan untuk bertahan.
Upaya Pelestarian Lewat Media Sosial
Menariknya, upaya pelestarian Jangan Banci kini juga mendapat dukungan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Banyuwangi. Pada Kamis (26/6), Disbudpar menggelar siaran langsung melalui akun TikTok resmi @banyuwangi_tourism, menampilkan Rohaniyah sebagai narasumber utama.
Selama sekitar 1,5 jam, Rohaniyah memandu proses memasak Jangan Banci dari awal hingga siap saji. Acara live ini bertujuan untuk mengenalkan masakan tradisional Banyuwangi kepada generasi muda yang aktif di platform digital.
“Setelah sebelumnya kami angkat pembuatan Mayang Sari dan rias pengantin Using, kali ini kami kenalkan Jangan Banci sebagai salah satu sajian khas hajatan Osing,” kata Dwi Susanti, Analis Kebijakan Muda Bidang Ekonomi Kreatif Disbudpar Banyuwangi.
Mengangkat Kuliner Lokal Lewat Cara Kekinian
Langkah Disbudpar Banyuwangi untuk mengedukasi masyarakat lewat media sosial seperti TikTok menjadi strategi baru yang cukup efektif. Mengingat pengguna platform tersebut didominasi oleh generasi muda, pendekatan ini diharapkan mampu menghidupkan kembali warisan kuliner tradisional yang mulai terlupakan.
Dengan cara-cara kekinian, kuliner seperti Jangan Banci tidak hanya dikenal di Banyuwangi, tetapi juga bisa menarik perhatian wisatawan dari luar daerah bahkan mancanegara. Karena dalam setiap sajian makanan tradisional, tersimpan jejak sejarah, rasa hormat terhadap alam, dan cinta pada budaya leluhur.
Jangan Banci mungkin terdengar asing atau bahkan lucu di telinga sebagian orang, tetapi di balik namanya, tersimpan kekayaan budaya yang luar biasa. Masakan khas Desa Kemiren ini tidak hanya mencerminkan kearifan lokal masyarakat Using, tapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap lupa—lupa akan akar budaya sendiri.
Dengan upaya bersama antara pelaku tradisi seperti Rohaniyah dan dukungan pemerintah melalui promosi digital, kuliner lokal seperti Jangan Banci memiliki peluang besar untuk kembali berjaya. Bukan hanya sebagai makanan, tapi sebagai identitas budaya yang patut dijaga dan dilestarikan.
markom Patitimes.com