Patitimes.com— Pemerintah Indonesia tengah melakukan langkah besar dengan merevisi metode penghitungan kemiskinan nasional yang telah digunakan sejak tahun 1998. Revisi ini dinilai sangat mendesak mengingat status Indonesia yang kini telah berubah menjadi negara berpendapatan menengah atas, sementara metode lama dianggap sudah tidak mencerminkan realitas sosial dan ekonomi masyarakat saat ini.
Langkah ini selaras dengan pembaruan global yang dilakukan oleh Bank Dunia, yang baru saja menaikkan ambang batas garis kemiskinan ekstrem dari USD 2,15 menjadi USD 3 per kapita per hari. Namun, revisi Indonesia tidak serta-merta mengikuti standar internasional, melainkan disesuaikan dengan kondisi domestik sebagai acuan utama.
Mengapa Revisi Metode Kemiskinan Sangat Diperlukan?
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory, mengungkap lima alasan utama mengapa perubahan metode penghitungan kemiskinan perlu segera dilakukan:
- Garis kemiskinan nasional Indonesia saat ini masih terlalu dekat dengan ambang kemiskinan ekstrem internasional, yang umumnya digunakan oleh negara-negara termiskin.
- Perubahan standar hidup masyarakat Indonesia dalam dua dekade terakhir tidak diikuti pembaruan metodologi kemiskinan.
- Negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam telah lebih dahulu memperbarui standar penghitungan kemiskinan mereka.
- Data kemiskinan yang tidak akurat bisa menyesatkan arah kebijakan publik dan pembangunan.
- Ketidaksesuaian data dengan kenyataan di lapangan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Menurut Arief, aspirasi masyarakat terus meningkat seiring pertumbuhan ekonomi. Ketika daya beli dan kebutuhan hidup berubah, maka metode pengukuran kemiskinan juga harus menyesuaikan.
“Masyarakat semakin sejahtera, aspirasi terhadap arti kemiskinan juga berubah. Ini artinya, pola konsumsi naik, dan garis kemiskinan lama sudah tidak relevan lagi,” ujar Arief pada Rabu (11/6).
BPS dan Bappenas Tengah Susun Kajian dan Simulasi
Saat ini, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama Bappenas sedang menyusun kajian dan melakukan simulasi beberapa skenario penghitungan kemiskinan terbaru. Proses ini juga dilakukan dengan konsultasi bersama Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
“Kami sedang dalam tahap kajian dan simulasi. Harapannya, metode baru bisa diselesaikan paling lambat akhir 2025,” lanjut Arief.
Meski demikian, ia mengakui bahwa proses ini tidak mudah. Ada dua kekhawatiran utama yang harus diantisipasi oleh pemerintah.
Dua Tantangan dalam Revisi Metode Kemiskinan
- Lonjakan angka kemiskinan secara statistik. Jika standar baru diterapkan, angka resmi penduduk miskin bisa melonjak tajam. Hal ini bisa dipolitisasi oleh berbagai pihak. Untuk itu, pemerintah perlu melakukan edukasi publik dan menyajikan data kemiskinan versi lama dan baru secara paralel selama masa transisi.
- Potensi beban anggaran sosial meningkat. Namun Arief menegaskan bahwa kekhawatiran ini tidak berdasar. Pasalnya, banyak program bantuan sosial tidak sepenuhnya bergantung pada angka resmi kemiskinan. Pemerintah menggunakan sistem pensasaran seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang mempertimbangkan berbagai indikator sosial ekonomi secara menyeluruh.
“Anggaran bantuan sosial ditentukan berdasarkan alokasi dan target program, bukan sekadar angka kemiskinan,” tegas Arief.
Perubahan Garis Kemiskinan Global dari Bank Dunia
Selain revisi domestik, dunia internasional juga mencatat perubahan signifikan dalam penghitungan kemiskinan. Bank Dunia melalui laporan June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform mengubah standar penghitungan berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017.
Dengan standar baru ini, ambang batas kemiskinan untuk negara-negara berpendapatan menengah atas, termasuk Indonesia, naik menjadi USD 8,30 per kapita per hari.
Berdasarkan nilai tukar PPP 2024, yaitu Rp 5.993,03 per USD 1, maka garis kemiskinan baru Indonesia dalam konteks global mencapai sekitar Rp 49.741 per hari atau sekitar Rp 1,49 juta per bulan per orang.
Bank Dunia juga mencatat, angka kemiskinan Indonesia naik signifikan dari 60,3% (April 2025) menjadi 68,25% populasi atau setara 194,58 juta jiwa dari total 285,1 juta penduduk pada akhir 2024.
Revisi Metode: Jalan Menuju Data Kemiskinan yang Lebih Akurat
Dengan perubahan besar ini, pemerintah berharap akan memiliki metodologi penghitungan kemiskinan yang lebih akurat, modern, dan relevan. Tujuannya bukan hanya untuk statistik, tapi juga untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik, program bantuan sosial, dan perencanaan pembangunan.
Revisi ini juga akan membantu pemerintah dalam membangun kepercayaan masyarakat, menunjukkan komitmen pada transparansi data, dan menjaga relevansi Indonesia sebagai negara yang terus tumbuh secara ekonomi.
Revisi Metode Kemiskinan Adalah Langkah Strategis
Perubahan metode penghitungan kemiskinan di Indonesia merupakan upaya penting dalam menyesuaikan kebijakan publik dengan realitas masyarakat modern. Dengan kondisi Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah atas, standar dan metodologi yang lebih akurat sangat diperlukan untuk mendorong pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
markom Patitimes.com