Patitimes.com – Situasi di perbatasan Thailand-Kamboja kembali memanas setelah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh warga Kamboja berujung bentrokan dengan pasukan militer Thailand pada Rabu (17/9).
Insiden ini terjadi di wilayah perbatasan Provinsi Banteay Meanchey, Kamboja, yang berbatasan langsung dengan wilayah timur Thailand.
Menurut laporan dari kantor berita internasional AFP yang dikutip Kamis (18/9), ketegangan bermula dari protes warga Kamboja terhadap pemasangan kawat berduri oleh militer Thailand di sepanjang garis perbatasan.
Aksi damai tersebut dengan cepat berubah menjadi bentrokan setelah militer Thailand membubarkan massa dengan gas air mata dan peluru karet.
Militer Thailand Klaim Tindakan Adalah Respons Pertahanan
Dalam pernyataan resmi yang dirilis pada Kamis (18/9), pihak militer Thailand menyatakan bahwa penggunaan gas air mata dan peluru karet adalah tindakan yang “diperlukan” untuk menjaga keamanan nasional serta mencegah pelanggaran batas wilayah.
“Penggunaan gas air mata dan peluru karet memang diperlukan untuk mengendalikan situasi dan membuat massa mundur dari area,” kata pihak militer Thailand dalam pernyataan resmi mereka.
Militer Thailand juga menuduh bahwa warga Kamboja yang berdemo telah melanggar batas wilayah dan menyebut otoritas Kamboja gagal mengambil tindakan untuk menghentikan pelanggaran tersebut.
“Orang-orang Kamboja itu melanggar batas wilayah Thailand, dan otoritas Kamboja tak mengambil tindakan apa pun. Ini adalah provokasi dan pelanggaran gencatan senjata,” tambah pernyataan tersebut.
Pemerintah Kamboja Protes Keras: “Ini Pelanggaran Gencatan Senjata”
Sementara itu, pihak pemerintah Kamboja bereaksi keras terhadap tindakan militer Thailand. Menteri Informasi Kamboja, Neth Pheaktra, mengutuk keras aksi kekerasan terhadap warga sipil dan menyebut tindakan tersebut sebagai pelanggaran serius terhadap perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati kedua negara.
“Ini pelanggaran gencatan senjata oleh pihak Thailand,” kata Pheaktra dalam konferensi pers di Phnom Penh.
Ia juga mengungkapkan bahwa sedikitnya 23 warga Kamboja mengalami luka-luka dalam insiden tersebut, termasuk di antaranya personel militer dan Bhiksu Buddha yang turut hadir dalam aksi protes damai tersebut.
Akar Konflik: Sengketa Wilayah Perbatasan yang Tak Kunjung Usai
Ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja bukanlah hal baru. Sejak beberapa dekade terakhir, kedua negara kerap berselisih soal klaim wilayah, khususnya di sekitar kawasan Candi Preah Vihear, yang menjadi objek sengketa lama antara Bangkok dan Phnom Penh.
Meski Mahkamah Internasional telah memberikan putusan pada 1962 bahwa candi tersebut berada di wilayah Kamboja, klaim atas beberapa bagian tanah di sekitarnya masih menjadi sumber konflik dan ketegangan diplomatik hingga hari ini.
Aksi pemasangan kawat berduri oleh militer Thailand dipandang oleh warga Kamboja sebagai bentuk “pencaplokan wilayah” secara sepihak. Warga yang tinggal di perbatasan pun merasa ruang gerak dan aktivitas mereka terganggu, karena banyak dari mereka mengandalkan perdagangan lintas batas untuk bertahan hidup.
Seruan Internasional dan Risiko Ketegangan Regional
Konflik terbaru ini menuai perhatian dari sejumlah organisasi internasional, termasuk ASEAN dan Human Rights Watch. Beberapa analis memperingatkan bahwa jika tidak dikelola dengan baik, konflik ini bisa merembet menjadi ketegangan regional yang lebih besar.
Direktur Institute for Southeast Asian Studies (ISEAS), Dr. Narongchai Chotiwong, menyatakan bahwa tindakan militer terhadap warga sipil berpotensi memicu eskalasi diplomatik.
“Kedua pihak perlu duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara damai. Penempatan kawat berduri dan respons militer terhadap demonstrasi damai hanya akan memperkeruh keadaan,” ujarnya.
Pemerintah Kedua Negara Didesak untuk Dialog Damai
Berbagai elemen masyarakat sipil di kedua negara mendesak agar pemerintah Thailand dan Kamboja segera menggelar perundingan bilateral guna mencegah konflik meluas. Seruan ini juga disuarakan oleh sejumlah aktivis HAM dan pemimpin komunitas lokal di perbatasan.
Hingga artikel ini ditulis, belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah kedua negara akan segera menggelar dialog terbuka. Namun, tekanan dari masyarakat internasional kemungkinan besar akan mendorong terciptanya pertemuan darurat untuk meredakan ketegangan.
markom Patitimes.com