Jakarta, Patitimes.com – Sebuah video yang memperlihatkan sejumlah anggota DPR RI berjoget di ruang sidang dalam rangkaian Sidang Tahunan MPR dan perayaan HUT ke‑80 RI menjadi viral dan memicu kritik publik. Banyak yang menilai aksi wakil rakyat ini tidak pantas dan menunjukkan kurangnya empati terhadap realitas rakyat yang tengah menghadapi berbagai kesulitan ekonomi dan sosial.
Publik menilai, perilaku tersebut menurunkan citra lembaga legislatif serta tidak mencerminkan sensitivitas terhadap kondisi rakyat. Komentar warganet pun bernada sinis:
“Rakyatnya kejang, pejabatnya goyang.”
“Bahagia banget bikin rakyatnya sengsara.”
Menanggapi keresahan masyarakat tersebut, Ketua MPR RI Ahmad Muzani buka suara. Ia menegaskan bahwa aksi berjoget dilakukan bukan di dalam agenda resmi, tetapi di luar rangkaian formal, sebagai bentuk relaksasi suasana.
“Karena lagu itu kan upaya untuk merelaksasi suasana, baik pada saat di sidang paripurna DPR ataupun MPR, ataupun setelah selesainya upacara detik‑detik proklamasi,” ujar Muzani di Kompleks Parlemen, Selasa (19/8)
Menurut Muzani, menari atau menggoyangkan tubuh adalah reaksi spontan manusia saat mendengar musik yang menyenangkan—a natural response yang tidak perlu dibesar-besarkan.
“Seseorang akan larut apabila juga mengenal dan menyukai lagunya… Tubuh akan bergerak… Itu sesuatu yang wajar saja,” tambahnya
Publik: Sensitivitas Pejabat Dipertanyakan
Tidak sedikit yang melihat aksi joget tersebut sebagai sinyal ketidakhormatan terhadap rakyat yang banyak belum merasakan kemajuan kesejahteraan.
Warganet mengecam keras:
“Bahagia banget bikin rakyatnya sengsara.”
“Nggak pernah sebenci dan semuak ini sama pejabat negara.”
Para pengamat sosial pun menyoroti risiko krisis citra yang bisa terjadi karena perilaku yang terekam kamera ini. Di tengah menghadapi krisis sosial dan ekonomi, masyarakat mengharapkan pejabatnya menunjukkan empati dan kesungguhan, bukan kesenangan yang dianggap melecehkan realitas rakyat.
Ketua MPR: “Di Luar Acara Formal, Ini Bukan Masalah”
Ahmad Muzani berargumen bahwa musik dan joget bukanlah bagian dari inti acara, melainkan bagian dari upaya mencairkan suasana setelah agenda resmi selesai.
“Karena tidak dalam acara inti… menurut kami itu sesuatu yang tidak ada masalah karena letakannya di luar acara formal,” ujar Muzani
Perilaku ini, lanjutnya, adalah reaksi alami dan spontan manusia saat mendengar lagu yang menyenangkan.
“Kalau kita mendengar lagu … dengan sendirinya tubuh kita bergoyang … itu sesuatu yang normal dan biasa saja.”
Konteks Lebih Luas: Etika, Sensitivitas, dan Persepsi Publik
Fenomena ini memperlihatkan ketegangan antara cara pejabat menjalankan tugas dan harapan publik terhadap simbol kepemimpinan dan empati. Meski secara formal tidak melanggar aturan, aksi joget penuh keceriaan saat publik tengah menghadapi beban ekonomi menciptakan jurang kepercayaan.
Para pakar menyarankan agar pejabat publik selalu mempertimbangkan dimensi etika dan persepsi publik, meski dalam momen informal. Foto atau video yang tersebar luas bisa memicu reaksi keras dari masyarakat apabila menyiratkan ketidaksesuaian antara sikap pejabat dan realita rakyat.
Aksi joget anggota DPR usai Sidang Tahunan MPR dan perayaan HUT ke‑80 RI memang terbukti viral. Kritik publik tak terelakkan, terutama karena dianggap tak sensitif terhadap kondisi masyarakat. Ketua MPR Ahmad Muzani menegaskan bahwa joget itu merupakan reaksi alami terhadap musik dan bukan bagian acara formal, sehingga dinilai tidak bermasalah.
Meski demikian, fenomena ini membuka diskusi penting tentang etika pejabat publik, kecermatan dalam bersikap, dan pentingnya menjaga kepekaan terhadap realitas sosial. Ketika rakyat menanti solusi atas banyak persoalan, simbolisme tindakan — sekecil apa pun — bisa signifikan memengaruhi tingkat kepercayaan dan legitimasi lembaga.
markom Patitimes.com