Patitimes.com – Ketegangan antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) kembali memanas. Kim Yo-jong, adik pemimpin tertinggi Kim Jong-un sekaligus pejabat senior Partai Buruh Korea Utara, secara tegas menyatakan bahwa Pyongyang tidak tertarik untuk membuka dialog dengan Korea Selatan, meski pemerintahan baru di Seoul menunjukkan sinyal positif untuk memperbaiki hubungan antar dua Korea.
Pernyataan keras tersebut disampaikan Kim Yo-jong melalui kantor berita resmi Korea Utara, Korean Central News Agency (KCNA), yang dikutip pada Senin (28/7/2025). Ia menyebut bahwa langkah-langkah rekonsiliasi yang dilakukan Presiden Korea Selatan Lee Jae-myung sejak terpilih pada Juni 2025 hanyalah upaya sentimental yang tidak memiliki dampak nyata bagi Pyongyang.
Korut Anggap Upaya Damai Korsel Sebagai “Kesalahan Perhitungan”
Dalam pernyataannya, Kim Yo-jong menyampaikan bahwa Korut tidak akan luluh hanya karena perubahan kebijakan atau proposal perdamaian dari Seoul. Ia menyindir bahwa pemerintah Korsel salah besar jika mengira beberapa kebijakan damai bisa membalikkan keadaan yang telah berjalan selama bertahun-tahun.
“Jika Korsel berharap dapat membalikkan semua hasil yang telah dicapainya dengan beberapa kata sentimental, tidak ada kesalahan perhitungan yang lebih serius dari itu,” ujar Kim Yo-jong.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa Korea Utara tidak memiliki alasan, minat, ataupun urgensi untuk bertemu atau berbicara dengan Korea Selatan, apa pun pendekatan atau proposal yang diajukan Seoul.
“Kami sekali lagi menegaskan pendirian resmi bahwa apa pun kebijakan yang diadopsi dan apa pun proposal yang diajukan di Seoul, kami tidak tertarik dan tidak ada alasan untuk bertemu atau membahas masalah itu dengan Korsel,” tegasnya.
Bahkan, Kim Yo-jong menyatakan bahwa hubungan antar dua Korea sudah melampaui hal-hal simbolik seperti zona waktu yang sama, merujuk pada simbolisme sebelumnya ketika kedua Korea sempat menyamakan waktu sebagai bentuk kerja sama.
Kebijakan Damai Presiden Lee Jae-myung Tak Membuahkan Hasil
Sejak dilantik sebagai Presiden Korea Selatan pada Juni 2025, Lee Jae-myung menyampaikan komitmennya untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara. Salah satu langkah pertama pemerintahannya adalah menghentikan siaran propaganda melalui pengeras suara di sepanjang Zona Demiliterisasi (DMZ), perbatasan kedua negara.
Tindakan itu disambut Korea Utara dengan menghentikan siaran suara aneh dan menyeramkan yang sebelumnya dipancarkan ke wilayah Korsel sebagai bentuk tekanan psikologis. Namun, menurut pernyataan Kim Yo-jong, keputusan itu tidak dapat diartikan sebagai titik balik hubungan dua negara.
Respons Pemerintah Korea Selatan: Korut Masih Penuh Ketidakpercayaan
Menanggapi pernyataan Kim Yo-jong, pemerintah Korea Selatan menyatakan bahwa hal itu mencerminkan tingginya ketidakpercayaan dan permusuhan yang telah berlangsung lama antara kedua negara. Juru Bicara Kementerian Unifikasi Korsel, Koo Byung-sam, mengatakan bahwa pemerintahan Lee tetap memantau dinamika dan tetap terbuka terhadap peluang perdamaian.
“Kami menganggap ini sebagai sinyal bahwa Korut sedang memantau secara ketat kebijakan Korut dari pemerintahan Lee,” kata Koo dalam konferensi pers di Seoul.
Ia menambahkan bahwa walaupun Korut menolak dialog, Seoul akan terus berusaha mencari jalan damai dengan prinsip kehati-hatian dan kejelasan arah.
Analis: Sikap Anti-Korsel Korut Sudah Mengakar
Analis senior dari Korea Institute for National Unification, Hong Min, mengatakan bahwa pernyataan Kim Yo-jong adalah bukti bahwa sikap permusuhan Korea Utara terhadap Korea Selatan bukan sekadar kebijakan, melainkan sudah menjadi bagian dari persepsi ideologis rezim Pyongyang.
“Pernyataan itu mendeklarasikan bahwa persepsi permusuhannya terhadap Korsel tidak dapat diubah,” ungkap Hong Min.
Ia menilai pernyataan Kim sebagai langkah strategis yang bertujuan memperkuat posisi negosiasi Korut di masa depan, termasuk dengan aktor internasional seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Kedua Korea Masih Dalam Status Perang Teknis
Meskipun Perang Korea berakhir pada 1953, kedua negara secara teknis masih dalam status perang karena hanya menandatangani gencatan senjata, bukan perjanjian damai. Ketegangan di Semenanjung Korea pun terus berlangsung, terlebih dengan keberadaan sekitar 28.000 pasukan militer AS yang ditempatkan di Korsel sebagai bentuk aliansi keamanan.
Korea Utara sendiri telah beberapa kali melakukan uji coba rudal balistik dan memperkuat persenjataan nuklirnya, yang memicu kekhawatiran regional dan internasional.
Masa Depan Hubungan Dua Korea Masih Suram
Pernyataan Kim Yo-jong menjadi pukulan telak bagi upaya diplomasi baru dari Presiden Lee Jae-myung. Meski Korea Selatan telah menunjukkan langkah nyata untuk menurunkan ketegangan, Korea Utara tetap menunjukkan sikap keras dan tertutup terhadap dialog.
Ketidakpercayaan yang telah berlangsung selama puluhan tahun masih menjadi tembok besar yang menghalangi perdamaian di Semenanjung Korea. Di tengah dinamika geopolitik yang semakin kompleks, harapan untuk reunifikasi atau rekonsiliasi kedua negara tampaknya masih jauh dari kenyataan.
markom Patitimes.com