Patitimes.com– Pemerintahan Amerika Serikat (AS) berencana memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen untuk produk kopi asal Indonesia mulai 1 Agustus 2025. Kebijakan ini dipandang akan memberikan dampak signifikan pada industri kopi nasional Indonesia. Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Irfan Anwar, menilai pengenaan tarif tinggi tersebut dapat menimbulkan tekanan berat pada harga kopi Indonesia di pasar global yang saat ini sudah mulai mengalami penurunan akibat sentimen kebijakan Presiden Donald Trump.
“Kalau memang tarif Trump 32 persen, ya pasti kita ada kerepotan,” ujar Irfan kepada kumparan, Jumat (11/7/2025). Namun demikian, ia menambahkan bahwa masih ada ruang diplomasi dan negosiasi lanjutan antara pemerintah Indonesia dan AS untuk menghindari pemberlakuan tarif tersebut. “Masih ada waktu dan kita berharap ada kesepakatan agar tarif itu tidak jadi diberlakukan,” tambah Irfan.
AS Masih Menjadi Pasar Ekspor Utama Kopi Indonesia
Meskipun ekspor kopi Indonesia tersebar ke lebih dari 125 negara, Amerika Serikat masih menjadi pasar ekspor utama dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), AS menyerap sebanyak 20,24 juta kilogram kopi Indonesia pada periode Januari hingga April 2025, dengan nilai mencapai USD 128,26 juta atau sekitar Rp 2,10 triliun. Sejak 2021 hingga 2024, AS konsisten menjadi pembeli terbesar kopi Indonesia, dengan nilai ekspor tertinggi pada 2024 mencapai USD 307,43 juta atau setara Rp 5,04 triliun.
Meski volume ekspor kopi Indonesia ke AS hanya berkisar antara 8-10 persen dari total ekspor, posisi pasar AS tetap sangat vital. “Amerika memang pembeli nomor satu selama ini dengan porsi cukup besar,” kata Irfan. Selain AS, negara tujuan ekspor kopi terbesar lainnya meliputi kawasan Eropa, Jepang, Mesir, dan negara-negara Afrika Utara.
Harga Kopi Dunia Tertekan, Petani Jadi Pihak yang Paling Rugi
Irfan mengungkapkan bahwa harga kopi dunia telah turun sekitar 30 persen sejak pengumuman tarif impor AS pada April 2025. Jika tarif benar-benar diberlakukan, tekanan terhadap harga kopi Indonesia diprediksi akan semakin besar. “Harga kopi sudah mulai turun dan tertekan karena kebijakan Trump. Kalau tarif itu jadi dilaksanakan, harga kopi Indonesia bisa makin tertekan,” jelasnya.
Dampak terbesar dari penurunan harga kopi ini terutama dirasakan oleh para petani kopi, bukan eksportir. Irfan memberikan ilustrasi nyata mengenai penurunan pendapatan petani kopi Arabika. Jika sebelumnya petani menjual kopi dengan harga Rp 100 ribu per kilogram, penurunan harga membuat mereka hanya mendapatkan Rp 50 ribu per kilogram. Dengan produksi sekitar 2 ton per hektare, pendapatan petani dapat turun dari Rp 200 juta menjadi hanya Rp 100 juta per tahun. “Kasihan petani kalau harga terus tertekan,” ujarnya.
Sementara itu, untuk para eksportir, margin keuntungan relatif stabil di kisaran 5-10 persen meskipun harga kopi mengalami fluktuasi signifikan. Namun, bagi petani, penurunan harga secara langsung akan sangat memukul pendapatan dan kesejahteraan mereka.
Volume Ekspor Tidak Terpengaruh, Namun Nilai Devisa Turun
Meski tarif impor AS dan penurunan harga kopi berpotensi menurunkan nilai ekspor, Irfan meyakinkan bahwa volume ekspor kopi Indonesia tidak akan terganggu. Hal ini dikarenakan pasar domestik Indonesia belum mampu menyerap produksi kopi secara besar-besaran. “Volume ekspor tetap akan jalan karena pasar dalam negeri tidak cukup menyerap,” jelasnya.
Namun, nilai devisa yang diperoleh dari ekspor kopi kemungkinan besar akan mengalami penurunan. Jika saat ini pendapatan ekspor kopi Indonesia mencapai sekitar USD 1 miliar, maka dengan penurunan harga, pendapatan tersebut diperkirakan bisa turun menjadi sekitar USD 800 juta. “Volume ekspor tidak masalah, tapi secara nilai devisa pasti turun,” tegas Irfan.
Penurunan devisa ini tidak hanya berdampak pada sektor pertanian, tetapi juga mempengaruhi neraca perdagangan nasional serta kontribusi ekspor kopi terhadap perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Strategi Diversifikasi Pasar dan Penguatan Kopi Specialty
Untuk menghadapi dampak negatif dari kebijakan tarif impor AS, AEKI menyiapkan sejumlah langkah strategis. Salah satunya adalah memperluas pasar ekspor ke kawasan Benua Eropa dan Asia Timur seperti Jepang, yang merupakan pasar potensial dengan permintaan kopi berkualitas tinggi. Selain itu, AEKI juga mendorong penguatan pasar specialty coffee di dalam negeri sebagai upaya meningkatkan nilai tambah produk kopi Indonesia.
“Iya, kami terus mencari pasar baru. Specialty coffee di dalam negeri juga sudah mulai berkembang pesat dan menjadi peluang besar,” ungkap Irfan.
Irfan juga optimis bahwa Pemerintah AS tidak akan dengan mudah menerapkan tarif sebesar 32 persen terhadap kopi Indonesia. Hal ini karena sebagian besar rantai pasok kopi di AS juga sangat bergantung pada pasokan dari Indonesia.
Pengenaan tarif impor 32 persen oleh Amerika Serikat terhadap kopi Indonesia yang direncanakan mulai 1 Agustus 2025 membawa tantangan besar bagi industri kopi nasional. Meskipun volume ekspor diperkirakan tetap stabil, tekanan terhadap harga kopi dan penurunan devisa akan berdampak pada pendapatan petani dan kesejahteraan sektor pertanian kopi secara umum. Melalui negosiasi diplomatik dan strategi diversifikasi pasar, termasuk pengembangan specialty coffee, diharapkan Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari kebijakan tersebut dan tetap menjaga posisi kopi Indonesia di pasar global.
markom Patitimes.com