Patitimes.com — Dunia kembali dibuat heboh dengan kebijakan kontroversial yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Melalui Kementerian Tenaga Kerja AS, Trump dikabarkan akan menonaktifkan Women’s Bureau, sebuah biro federal yang telah berdiri lebih dari satu abad dan berperan penting dalam memperjuangkan hak serta kesejahteraan perempuan pekerja di Amerika.
Kebijakan ini menuai kritik luas, tidak hanya dari aktivis hak perempuan, tetapi juga dari sejumlah tokoh politik dan mantan pejabat pemerintahan. Women’s Bureau, yang didirikan pada tahun 1920, selama ini dikenal sebagai lembaga pelindung dan pemberdaya perempuan di dunia kerja, baik melalui penelitian, advokasi, maupun pengelolaan program-program yang mendorong kesetaraan gender.
Apa Itu Women’s Bureau?
Women’s Bureau adalah salah satu badan di bawah Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat yang dibentuk setelah berakhirnya Perang Dunia I, saat semakin banyak perempuan memasuki dunia kerja. Lembaga ini bertujuan untuk:
- Melakukan penelitian tentang kondisi kerja perempuan.
- Merumuskan kebijakan untuk meningkatkan kesetaraan gender di tempat kerja.
- Menyediakan hibah dan pelatihan untuk perempuan di industri yang didominasi laki-laki.
- Menjadi corong kebijakan yang mewakili kebutuhan perempuan pekerja di berbagai sektor ekonomi.
Selama lebih dari satu abad, Women’s Bureau telah menjadi pilar penting dalam perjuangan kesetaraan gender di Amerika Serikat. Namun di usia 105 tahun pada 2025, lembaga ini justru menghadapi ancaman eksistensial.
Biro Tak Dapat Anggaran, Staf Bakal Diberhentikan
Rencana pembubaran ini ditandai dengan penghentian pendanaan Women’s Bureau, yang membuat biro ini tak bisa beroperasi mulai tahun 2026. Semua staf yang tersisa akan diberhentikan, dan tanpa anggaran federal, secara tidak langsung ini menandakan bahwa pemerintah berupaya membubarkan lembaga kerja perempuan ini secara permanen.
Langkah tersebut menjadi ironi besar karena dalam kampanye presidennya, Donald Trump pernah mengklaim bahwa ia akan menjadi pelindung hak-hak perempuan. Ia bahkan berjanji perempuan akan “bahagia, sehat, percaya diri, dan bebas” di bawah pemerintahannya. Namun, keputusan ini justru mencerminkan penarikan dukungan sistematis terhadap kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Kritik Muncul dari Berbagai Kalangan
Banyak pihak menyayangkan keputusan ini, termasuk Gayle Goldin, mantan Wakil Direktur Women’s Bureau saat pemerintahan Joe Biden. Dalam wawancara dengan Mother Jones, Gayle menyatakan bahwa pembubaran biro ini sama saja dengan menyingkirkan perempuan dari dunia kerja.
“Kita benar-benar masih membutuhkan Biro Perempuan, karena kita perlu mampu mengidentifikasi apa saja masalahnya, melihat hambatan bagi perempuan di tempat kerja, dan memastikan bahwa perempuan memiliki kapasitas penuh untuk memasuki tempat kerja dalam pekerjaan apa pun yang mereka inginkan,” ujar Gayle, dikutip dari Independent, Rabu (25/6).
Gayle menambahkan bahwa selama ini Women’s Bureau juga berperan penting dalam mengembangkan program pelatihan kerja untuk perempuan di bidang STEM, manufaktur, dan konstruksi—industri yang masih minim partisipasi perempuan.
Dikhawatirkan Kembali ke Pola Patriarki
Tak hanya mantan pejabat, sejumlah staf Kementerian Tenaga Kerja AS, baik yang aktif maupun pensiunan, menyampaikan kekhawatirannya. Mereka melihat keputusan ini sejalan dengan kecenderungan politik konservatif yang menginginkan perempuan kembali ke peran domestik, yakni tinggal di rumah dan mengurus anak.
Langkah ini dinilai sebagai upaya regresif, yang bertolak belakang dengan semangat zaman dan pencapaian gerakan perempuan selama lebih dari 100 tahun.
“Ini seperti pesan tidak langsung bahwa tempat perempuan adalah di rumah, bukan di tempat kerja. Ini sangat mengkhawatirkan,” ujar salah satu sumber anonim dari internal kementerian.
Masa Depan Kesetaraan Gender di AS Dipertanyakan
Dengan semakin tergerusnya kebijakan publik yang mendukung perempuan, banyak pihak mulai mempertanyakan komitmen pemerintah AS terhadap kesetaraan gender. Meski ada badan-badan lain yang berfokus pada isu perempuan, hilangnya Women’s Bureau akan menciptakan kekosongan besar dalam riset, regulasi, dan program pendukung yang spesifik menyasar kebutuhan perempuan pekerja.
Apalagi di tengah situasi ekonomi global yang tak menentu, akses perempuan terhadap pekerjaan layak, aman, dan setara sangat penting untuk mendorong pemulihan ekonomi yang inklusif.
Pembubaran Women’s Bureau oleh pemerintahan Trump menjadi sinyal kuat bahwa perjuangan hak-hak perempuan di Amerika Serikat belum selesai. Meski lembaga ini telah berjasa dalam meningkatkan partisipasi dan perlindungan perempuan di tempat kerja, langkah politik terbaru ini justru menyudutkan posisi mereka.
Kini, tantangan terbesar bagi para aktivis dan pegiat kesetaraan gender adalah menggalang solidaritas lintas sektor untuk menuntut perlindungan kebijakan yang lebih progresif dan inklusif terhadap perempuan—agar sejarah panjang perjuangan tidak sia-sia.
markom Patitimes.com