Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Respon Pernyataan Jusuf Kalla Terkait Sengketa Pulau antara Aceh dan Sumut

Patitimes.comSengketa wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat ke permukaan setelah pernyataan Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), mengenai empat pulau yang menjadi objek sengketa. Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang telah menjadi bahan perdebatan antara dua provinsi tersebut dalam beberapa waktu terakhir. JK mengungkapkan bahwa secara historis, empat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh Singkil berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.

Pernyataan JK ini langsung mendapatkan respons dari Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya. Menurut Bima Arya, pihaknya akan mempelajari lebih lanjut peraturan yang disampaikan oleh JK, terutama mengenai UU Nomor 24 Tahun 1956 yang disebut-sebut menjadi dasar klaim tersebut.

Pentingnya Kajian Dokumen Hukum

Dalam wawancara dengan wartawan pada Sabtu (14/6), Bima Arya menyatakan bahwa meskipun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 merujuk pada pembentukan wilayah Aceh dan Sumatera Utara, dokumen tersebut tidak memberikan penjelasan yang rinci terkait batas wilayah, terutama mengenai batas laut antara kedua provinsi. “Akan kita pelajari lagi semua dokumen yang ada. Karena di UU No. 24 Tahun 1956 itu pun tidak secara detail mengatur batas,” kata Bima. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada dasar hukum yang disebutkan oleh Jusuf Kalla, masih ada ruang untuk penafsiran dan kajian lebih lanjut terkait batas-batas wilayah yang dimaksud.

Bima juga menambahkan bahwa meskipun perjanjian Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 menyebutkan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada batas wilayah yang berlaku pada 1 Juli 1956, dokumen tersebut pun tidak mengatur secara detail mengenai batas wilayah di antara Aceh dan Sumatera Utara, terutama dalam hal batas laut. “Di dokumen Helsinki hanya disebutkan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956,” ujar Bima, menegaskan bahwa masih ada ketidakjelasan yang perlu dipecahkan.

Batas Laut yang Belum Ditetapkan

Salah satu poin penting yang disoroti oleh Bima Arya adalah mengenai batas laut yang sampai saat ini belum ditetapkan. Meskipun telah ada klaim-klaim sejarah dan hukum mengenai wilayah-wilayah tertentu, belum ada keputusan atau regulasi yang menetapkan batas laut antara Aceh dan Sumatera Utara, termasuk empat pulau yang tengah diperdebatkan. “Batas laut belum ditetapkan. Saat ini sangat penting untuk mengumpulkan data dan fakta historis, tidak cukup hanya geografis saja,” tandas Bima.

Bima mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mengumpulkan berbagai data dan fakta terkait sengketa tersebut. Ia menekankan bahwa penyelesaian sengketa ini memerlukan pemahaman yang lebih dalam tidak hanya terkait dengan aspek geografis, tetapi juga faktor historis yang melibatkan kedua daerah tersebut. Oleh karena itu, pemerintah akan berusaha untuk mempelajari semua informasi yang tersedia sebelum membuat keputusan atau memberikan solusi yang tepat.

Jusuf Kalla: Merujuk pada Perjanjian Helsinki dan UU 1956

Sebelumnya, Jusuf Kalla dalam konferensi persnya pada Jumat (13/6) memberikan penjelasan mengenai dasar hukum yang digunakan untuk mendukung klaim Aceh atas empat pulau tersebut. JK menegaskan bahwa perbatasan Aceh merujuk pada peraturan yang diatur dalam perjanjian Helsinki, yang mengacu pada perbatasan yang berlaku pada 1 Juli 1956. Dalam perjanjian tersebut, disebutkan bahwa wilayah Aceh mengikuti batas-batas yang ditentukan pada masa tersebut, yang juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Sumatera Utara oleh Presiden Sukarno.

Menurut JK, perjanjian Helsinki yang disepakati antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia pada 2005 menjadi landasan utama dalam menentukan batas wilayah Aceh. Pasal 1.1.4 dalam perjanjian tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa batas wilayah Aceh merujuk pada batas wilayah yang ada pada 1 Juli 1956, yang menurut JK juga tercatat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.

“Dalam Undang-Undang 1956 itu, ada ketentuan yang mengatur mengenai Aceh dan Sumatera Utara yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno. Itulah yang menjadi acuan dalam penetapan perbatasan Aceh,” jelas JK, menguatkan argumennya bahwa sengketa ini berakar pada regulasi yang sudah ada sejak lama.

Tantangan Penyelesaian Sengketa Wilayah

Sengketa perbatasan antara Aceh dan Sumatera Utara terkait empat pulau ini bukanlah hal yang baru. Konflik mengenai batas wilayah ini telah menjadi topik yang terus dibicarakan selama bertahun-tahun, dan meskipun ada dasar hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak tertentu, penyelesaiannya tetap menemui banyak tantangan. Selain perbedaan interpretasi terhadap dokumen-dokumen hukum yang ada, masalah teknis seperti penetapan batas laut yang jelas juga menjadi hal yang memerlukan perhatian khusus.

Penyelesaian sengketa wilayah ini membutuhkan koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pihak-pihak terkait lainnya. Hal ini akan melibatkan kajian mendalam terhadap dokumen-dokumen historis, serta pengumpulan data yang dapat dijadikan dasar dalam menentukan keputusan yang adil bagi kedua provinsi.

Menunggu Keputusan yang Tepat

Saat ini, pemerintah sedang berusaha untuk mempelajari lebih lanjut mengenai peraturan-peraturan yang ada serta mengumpulkan fakta dan data terkait sengketa wilayah ini. Meskipun ada dasar hukum yang dapat dijadikan acuan, seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dan perjanjian Helsinki, masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai solusi yang final. Bima Arya menegaskan bahwa langkah-langkah berikutnya akan didasarkan pada kajian yang komprehensif dan pengumpulan data historis serta geografis yang tepat.