Tragedi Kanjuruhan Belum Usai: Insiden Menggemparkan Pelemparan Bus Persik Kediri oleh Oknum Suporter

Patitimes.com– Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober 2022 masih menyisakan luka mendalam bagi dunia sepak bola Indonesia. Belum genap tiga tahun sejak tragedi kelam itu terjadi, kini insiden baru kembali mencoreng wajah sepak bola nasional, dengan ulah oknum suporter yang kembali bertindak anarkis.

Kilasan Tragedi Kanjuruhan 2022: Luka Mendalam Sepak Bola Indonesia

Tragedi Kanjuruhan terjadi setelah pertandingan lanjutan Liga 1 Indonesia 2022/23 antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya yang berakhir dengan skor 2-3 untuk tim tamu. Kekecewaan mendalam dari suporter tuan rumah, Aremania, membuat sejumlah dari mereka turun ke lapangan setelah pertandingan berakhir.

Situasi yang awalnya hanya berupa invasi lapangan berubah menjadi kerusuhan massal usai aparat kepolisian melepaskan tembakan gas air mata ke arah tribun penonton, meskipun aturan FIFA jelas melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.

Kepanikan melanda, ribuan penonton berlarian mencari jalan keluar. Namun, banyak dari mereka terjebak di pintu keluar yang tertutup atau sempit. Akibatnya, sebanyak 135 orang tewas, menjadikan insiden ini sebagai tragedi suporter terbesar kedua di dunia, melampaui tragedi Hillsborough di Inggris.

Menurut data Priceonomic, Tragedi Kanjuruhan bahkan melampaui jumlah korban tewas dalam tragedi di Accra Sports Stadium, Ghana, yang menelan 126 korban jiwa pada 5 September 2001. Tragedi paling mematikan dalam sejarah sepak bola sendiri terjadi di Estadio Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964, dengan total 328 korban meninggal.

Tragedi Kanjuruhan mengundang perhatian global. FIFA pun turun tangan, meski PSSI tidak dijatuhi sanksi langsung, federasi sepak bola dunia itu meminta adanya transformasi besar-besaran dalam pengelolaan sepak bola Indonesia.

Arema FC Kembali ke Kanjuruhan, Insiden Baru Kembali Terjadi

Sejak insiden itu, Arema FC tidak lagi menggunakan Stadion Kanjuruhan, Malang sebagai kandang mereka. Stadion pun menjalani proses renovasi dan evaluasi menyeluruh. Namun, pada Minggu, 11 Mei 2025, Arema FC akhirnya kembali tampil di Kanjuruhan dalam laga melawan Persik Kediri.

Sayangnya, momentum kembalinya Arema FC justru dinodai oleh insiden kekerasan pascalaga. Setelah pertandingan yang dimenangkan Persik Kediri dengan skor 0-3, bus tim Persik dilempari batu oleh oknum suporter tidak lama setelah meninggalkan stadion.

Manajer Persik Kediri, Moch Syahid Nur Ichsan, menjelaskan bahwa kejadian tersebut terjadi tiba-tiba di jalan. Meskipun tidak ada luka berat, beberapa official dan pelatih mengalami luka ringan akibat serpihan kaca yang pecah.

Kita biasa keluar dari stadion, tiba-tiba ada lemparan. Saya tidak melihat siapa yang melempar, tapi memang ada beberapa kali lemparan,” ujar Ichsan.

Coach Rivaldo dan Coach Antonio terkena serpihan kaca, tapi tidak luka berat. Kena di bagian kepala karena pecahan kaca,” tambahnya.

Keamanan Dipertanyakan Meski Sudah Ada Simulasi

Sebelum laga berlangsung, Polres Malang bersama panitia pelaksana pertandingan dan security officer Arema FC sebenarnya telah melakukan simulasi pengamanan. Bahkan pada Kamis, 8 Mei, digelar pertandingan amal Arema FC vs Arema All Stars sebagai uji coba keamanan.

Namun insiden pelemparan bus ini menunjukkan bahwa masih terdapat celah keamanan yang belum tertutup sepenuhnya.

Dari persiapan sampai simulasi sudah kami lakukan dengan matang. Namun, masih ada celah. Seperti malam ini, pelemparan bus yang terjadi di jalan,” ungkap Bram Hady Sulthon, Security Officer Arema FC.

Tragedi dan Kekerasan Suporter Masih Jadi PR Sepak Bola Indonesia

Insiden terbaru ini memperlihatkan bahwa meskipun tragedi Kanjuruhan telah menjadi pelajaran pahit, kekerasan suporter belum sepenuhnya hilang dari sepak bola Indonesia. Aksi-aksi seperti penyerbuan lapangan, pelemparan batu, hingga ancaman terhadap pemain dan official masih menghantui Liga 1.

Untuk menciptakan sepak bola yang aman dan beradab, perlu adanya komitmen serius dari seluruh elemen—klub, suporter, aparat keamanan, dan federasi sepak bola Indonesia (PSSI). Penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan juga perlu ditegakkan agar tidak ada lagi korban yang jatuh sia-sia.

Tragedi Kanjuruhan adalah luka kolektif bagi sepak bola Indonesia yang semestinya menjadi momentum refleksi dan perubahan nyata. Namun insiden terbaru usai pertandingan Arema FC vs Persik Kediri membuktikan bahwa proses transformasi belum selesai.

Kejadian ini harus menjadi alarm bahwa perubahan tak cukup hanya di atas kertas. Perlindungan terhadap pemain, official, dan suporter harus jadi prioritas utama. Jika tidak, bayang-bayang tragedi serupa akan terus menghantui masa depan sepak bola Indonesia.