Patitimes.com– Sepanjang tahun 2025, sektor industri pengolahan menjadi yang paling terdampak oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia. Berdasarkan data resmi dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah pekerja yang terkena PHK di sektor ini mencapai 16.801 orang.
Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (5/5/2025).
“Tiga sektor terbanyak yang terdampak PHK sepanjang 2025 adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya,” ujar Yassierli dalam rapat tersebut.
Sektor-Sektor Terdampak PHK Sepanjang 2025
Selain industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan eceran menempati posisi kedua dengan jumlah korban PHK sebanyak 3.622 orang. Sementara itu, sektor aktivitas jasa lainnya menyumbang 2.012 kasus PHK.
Secara total, jumlah pekerja yang mengalami PHK hingga 23 April 2025 tercatat sebanyak 24.036 orang. Angka ini sudah mencapai hampir sepertiga dari total PHK sepanjang tahun 2024 yang berjumlah 77.965 orang.
“Kalau kita bandingkan year to year, jumlah PHK per April 2025 ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” jelas Menaker.
Provinsi dengan Kasus PHK Tertinggi
Dari sisi geografis, Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, mencatat 10.629 kasus. Disusul oleh DKI Jakarta dengan 4.649 kasus, dan Riau dengan 3.546 kasus.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pusat-pusat industri di Pulau Jawa dan Sumatra menjadi wilayah yang paling rentan terhadap gejolak tenaga kerja akibat berbagai tekanan ekonomi dan operasional perusahaan.
Faktor Penyebab PHK Meningkat di 2025
Yassierli memaparkan bahwa peningkatan kasus PHK di 2025 disebabkan oleh berbagai faktor kompleks yang saling berkaitan. Salah satunya adalah kondisi perusahaan yang mengalami kerugian, baik karena menurunnya permintaan pasar dalam negeri maupun pasar ekspor.
“Banyak perusahaan yang mengeluhkan kondisi pasar global dan lokal yang tidak stabil. Ini memaksa mereka untuk menurunkan produksi dan merumahkan karyawan,” terangnya.
Selain itu, faktor relokasi industri juga menjadi penyumbang PHK besar-besaran. Perusahaan yang pindah ke daerah dengan upah minimum lebih rendah cenderung melepas karyawan lama dan merekrut tenaga kerja baru di lokasi baru.
Penyebab lainnya termasuk perselisihan hubungan industrial, tindakan balasan atas pemogokan, serta efisiensi operasional dan transformasi bisnis. Beberapa perusahaan juga dinyatakan pailit, sehingga terpaksa memutus hubungan kerja dengan karyawannya.
“Jadi penyebab PHK sangat bervariasi. Untuk mitigasinya, kita perlu melihat setiap kasus secara spesifik dan tidak bisa digeneralisasi,” tegas Yassierli.
Dampak Sosial dan Tantangan ke Depan
Lonjakan PHK ini menimbulkan kekhawatiran terhadap dampak sosial ekonomi yang lebih luas. Ribuan keluarga kehilangan sumber penghasilan utama dan berpotensi menghadapi krisis ekonomi di tingkat rumah tangga.
Kementerian Ketenagakerjaan sendiri tengah menyiapkan berbagai langkah antisipasi dan mitigasi, mulai dari pelatihan ulang (reskilling), program padat karya, hingga kerja sama dengan sektor swasta untuk penyerapan tenaga kerja baru.
Namun, upaya tersebut masih menghadapi tantangan berat jika kondisi ekonomi, baik domestik maupun global, belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan signifikan.
Data PHK tahun 2025 menunjukkan tren peningkatan signifikan dengan sektor industri pengolahan menjadi penyumbang terbesar. Berbagai faktor seperti tekanan pasar, relokasi industri, efisiensi perusahaan, dan konflik hubungan kerja menjadi pemicu utama.
Langkah-langkah mitigasi berbasis pendekatan sektoral dan lokal menjadi kunci untuk menekan dampak lanjutan. Pemerintah, pelaku industri, dan serikat pekerja perlu berkolaborasi dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin kompleks di masa depan.
markom Patitimes.com