Jakarta, Patitimes.com – Komisi II DPR RI akan segera membahas revisi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Meskipun UU ini baru direvisi pada tahun lalu, Komisi II menilai terdapat sejumlah hal krusial yang harus disempurnakan, terutama terkait netralitas ASN dalam pemilu dan prinsip meritokrasi di birokrasi.
Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, mengungkapkan bahwa penugasan untuk membahas revisi UU ASN berasal langsung dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. “Komisi II mendapatkan penugasan dari Baleg DPR untuk membahas RUU ASN,” ujar Rifqi kepada media di Jakarta, Senin (21/4/2025).
Dua Alasan Utama Revisi UU ASN
Rifqi menjelaskan bahwa ada dua alasan mendasar yang mendorong dilakukannya revisi ini. Pertama, sebagai bentuk evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024. Kedua, demi memperkuat sistem meritokrasi dalam pengelolaan ASN. Menurutnya, banyak ditemukan ketidaknetralan ASN selama proses pemilu, terutama di tingkat eselon II seperti kepala dinas dan sekretaris daerah.
“ASN dituntut netral, tetapi di sisi lain mereka berada dalam posisi yang menuntut loyalitas terhadap kepala daerah,” jelas Rifqi.
Proses Masih Dalam Kajian Awal
Komisi II masih berada pada tahap awal pengkajian RUU ASN ini. Rifqi menyebutkan bahwa pihaknya telah meminta Badan Keahlian DPR (BKD) untuk menyusun kajian akademik dan mengadakan hearing dengan para ahli serta masyarakat sipil. “Kami ingin memastikan adanya partisipasi bermakna atau meaningful participation dalam proses penyusunan naskah akademik ini,” katanya.
Kritik: Revisi Terlalu Cepat dan Minim Urgensi?
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, mempertanyakan urgensi revisi UU ASN yang baru berusia satu tahun. Ia menilai revisi seharusnya didasari oleh evaluasi mendalam, bukan semata-mata karena masuk Prolegnas 2025.
“Baru setahun diimplementasikan, masa langsung direvisi? Kita harus tanya dulu efektivitasnya sejauh mana,” ujar Aria di kompleks parlemen, Senayan.
Kontroversi Kewenangan Presiden Mutasi Eselon II-I
Salah satu poin yang paling menuai kritik dalam draf revisi UU ASN adalah wacana penarikan kewenangan pengangkatan dan pemberhentian pejabat eselon II dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, khususnya Presiden. Jika diterapkan, maka kepala daerah tak lagi memiliki kuasa untuk menentukan pejabat tinggi pratama seperti kepala dinas dan sekda.
Aria Bima menegaskan bahwa langkah tersebut berisiko besar mengikis semangat otonomi daerah. “Ini bisa menjadi bentuk resentralisasi yang melanggar prinsip desentralisasi dan semangat reformasi birokrasi,” tegasnya.
Menurutnya, kewenangan pengelolaan SDM daerah harus tetap berada di tangan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). “Otonomi daerah harus tetap kita rawat. Jangan sampai sentralisasi lagi,” ujarnya.
Hanya Satu Pasal Direvisi, Tapi Dampaknya Besar
Revisi UU ASN kali ini akan difokuskan pada Pasal 30, yang mengatur tentang kewenangan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat tinggi pratama dan madya. Dalam aturan yang berlaku saat ini, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan kepada kepala daerah.
Namun dalam rancangan revisi terbaru, kewenangan tersebut akan sepenuhnya ditarik ke pusat, menjadikan Presiden sebagai satu-satunya pihak yang dapat mengambil keputusan terkait posisi strategis di level daerah dan pusat. Skema ini diyakini akan menyeragamkan sistem manajemen ASN secara nasional, namun mengundang pro dan kontra terkait efektivitas, fleksibilitas daerah, serta potensi politisasi.
Meskipun revisi UU ASN telah resmi masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, hingga kini DPR RI belum menerima Surat Presiden (Surpres) sebagai dasar resmi untuk memulai pembahasan lebih lanjut. Pro dan kontra pun terus bergulir di kalangan legislatif dan pengamat kebijakan publik.
Dengan implikasi yang cukup luas, mulai dari netralitas ASN, prinsip meritokrasi, hingga batas kewenangan pusat dan daerah, publik pun diharapkan terus mengawal pembahasan revisi UU ini agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip otonomi daerah dan demokrasi birokrasi.
Sebagai kesimpulan, revisi UU ASN yang kini sedang dibahas oleh Komisi II DPR RI mencerminkan upaya untuk memperbaiki sistem birokrasi di Indonesia. Meskipun perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan netralitas ASN, terutama dalam konteks pemilu dan pilkada, kontroversi mengenai pengurangan kewenangan daerah dalam mengelola ASN juga menjadi sorotan.
Revisi ini akan terus dipantau, mengingat pengaruhnya terhadap otonomi daerah dan kualitas pelayanan publik. Diharapkan, pembahasan yang terbuka dan melibatkan berbagai pihak akan menghasilkan kebijakan yang adil, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta prinsip desentralisasi pemerintahan.
markom Patitimes.com