Marah Berlebihan dan Hipertensi: Fakta atau Mitos?

Suka marah-marah ternyata bukan hanya berdampak pada hubungan sosial, tetapi juga dapat membahayakan kesehatan. Salah satu isu yang sering dikaitkan adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi. Banyak yang bertanya-tanya, benarkah suka marah-marah bikin hipertensi? Mari kita bahas fakta medis dan penjelasannya secara lengkap.

Apa Itu Hipertensi?

Hipertensi adalah kondisi di mana tekanan darah berada di atas batas normal, yaitu lebih dari 140/90 mmHg. Jika tidak dikontrol, hipertensi dapat menyebabkan berbagai komplikasi serius seperti serangan jantung, stroke, hingga kerusakan ginjal.

Hipertensi sering dijuluki sebagai “silent killer” karena gejalanya yang tidak terasa namun dampaknya sangat berbahaya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenali faktor-faktor penyebabnya.

Apa Hubungannya Marah-Marah dengan Hipertensi?

Ketika seseorang marah, tubuh merespons dengan cara yang sama seperti saat menghadapi bahaya. Reaksi ini disebut respon stres “fight or flight”. Saat marah, tubuh melepaskan hormon stres seperti adrenalin dan kortisol.

Hormon-hormon ini menyebabkan:

  • Detak jantung meningkat

  • Pembuluh darah menyempit

  • Tekanan darah naik

Jika marah hanya terjadi sesekali, tubuh masih bisa menyesuaikan diri. Namun, jika marah-marah menjadi kebiasaan, tekanan darah bisa terus-menerus tinggi. Inilah yang dapat memicu hipertensi kronis.

Bukti Ilmiah: Marah dan Hipertensi

Beberapa studi menunjukkan bahwa orang yang sering mengalami emosi negatif seperti marah, cemas, dan stres kronis memiliki risiko lebih tinggi terkena hipertensi.

Menurut American Heart Association, emosi negatif seperti kemarahan dapat meningkatkan tekanan darah secara signifikan dalam jangka pendek. Jika hal ini terjadi berulang, dampaknya bisa bersifat jangka panjang.

Sebuah penelitian dari Harvard juga menemukan bahwa orang yang cepat marah dan tidak mampu mengelola emosinya memiliki kemungkinan lebih besar mengalami masalah jantung dan tekanan darah tinggi dibanding mereka yang lebih tenang.

Siapa yang Lebih Rentan?

Orang yang memiliki gaya hidup tidak sehat—seperti kurang tidur, jarang olahraga, merokok, dan pola makan tinggi garam—lebih rentan terhadap dampak negatif kemarahan terhadap tekanan darah.

Selain itu, mereka yang memiliki kepribadian tipe A, yaitu mudah stres dan kompetitif, juga lebih berisiko mengalami hipertensi akibat emosi yang tidak terkontrol.

Cara Mengendalikan Emosi Agar Terhindar dari Hipertensi

Mengelola emosi adalah langkah penting dalam mencegah tekanan darah tinggi. Berikut beberapa cara yang bisa dilakukan:

1. Latihan Pernapasan atau Meditasi

Tarik napas dalam-dalam dan perlahan. Ini bisa membantu menenangkan tubuh dan pikiran saat emosi memuncak.

2. Olahraga Teratur

Aktivitas fisik seperti jalan kaki, yoga, atau bersepeda bisa membantu mengurangi stres dan menjaga tekanan darah tetap stabil.

3. Tidur Cukup

Kurang tidur bisa membuat seseorang lebih mudah marah. Pastikan tidur berkualitas minimal 7–8 jam per malam.

4. Kurangi Kafein dan Gula

Kafein berlebih bisa membuat detak jantung meningkat. Gula juga bisa memicu lonjakan energi yang berujung pada penurunan suasana hati.

5. Konsultasi Psikolog atau Terapis

Jika Anda merasa kesulitan mengelola kemarahan, tidak ada salahnya meminta bantuan profesional.

Kesimpulan

Jadi, benarkah suka marah-marah bikin hipertensi? Jawabannya: ya, benar. Marah yang tidak terkontrol dan terjadi berulang kali bisa berdampak negatif pada kesehatan, terutama tekanan darah.

Meski tidak langsung menyebabkan hipertensi secara instan, kebiasaan marah yang berkepanjangan bisa menjadi pemicu jangka panjang. Oleh karena itu, penting untuk menjaga kesehatan emosional agar tekanan darah tetap stabil.

Ingat, bukan hanya pola makan dan gaya hidup fisik yang harus dijaga, tapi juga kesehatan mental dan cara kita mengelola emosi. Mari mulai hidup lebih tenang dan sehat, demi jantung yang kuat dan tubuh yang bebas dari hipertensi.